Stagnasi Ekonomi dan Tantangan Reindustrialisasi
Metapasar - Para ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memproyeksikan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2024 dan 2025 akan cenderung stagnan di angka 5%. Hal ini disebabkan oleh kurangnya strategi kebijakan yang efektif untuk mengatasi masalah deindustrialisasi dini di sektor industri.
Didik J. Rachbini, Ekonom Senior INDEF sekaligus Rektor Universitas Paramadina, menyoroti tren penurunan Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia. Menurutnya, kondisi ini menimbulkan keraguan apakah target pertumbuhan ekonomi hingga 8% dapat terealisasi.
"PMI di sektor-sektor industri terus merosot dan bahkan berada di bawah 50%. Dengan kondisi industri yang kurang mendapat perhatian dan tanpa kebijakan yang memadai, bagaimana kita bisa berharap mencapai pertumbuhan sebesar 8%?" ujarnya dalam sebuah pernyataan tertulis pada Kamis (26/12).
Pertumbuhan sektor industri dinilai masih rendah, hanya sekitar 3–4% dalam beberapa tahun terakhir. Angka tersebut dianggap belum cukup untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 5%, apalagi target ambisius 7% di era Presiden Joko Widodo atau 8% seperti yang diusung oleh Presiden Prabowo Subianto.
"Kalau sektor industri terus tumbuh rendah seperti ini, jangan harap target tinggi tersebut bisa tercapai. Selama masa pemerintahan Presiden Jokowi, sektor ini kurang mendapat perhatian sehingga target pertumbuhan 7% tidak tercapai," tambah Didik.
Ia menegaskan bahwa sektor industri terjebak dalam deindustrialisasi dini. Untuk mengatasinya, diperlukan reindustrialisasi yang memanfaatkan kekayaan sumber daya alam Indonesia serta strategi yang mampu bersaing di pasar internasional sekaligus mendominasi pasar domestik.
Menurut Didik, Indonesia perlu menerapkan strategi industri berbasis sumber daya alam (resource-based industry), industri berbasis ekspor (export-led industry), atau industri berorientasi ke luar (outward-looking industry). Model ini pernah diterapkan pada 1980-an hingga awal 1990-an, yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 7–8%.
"Tanpa perubahan strategi seperti ini, target pertumbuhan ekonomi 8% sulit dicapai. Kunci keberhasilan ada pada kemampuan industri untuk bersaing di pasar internasional," tegasnya.
Meskipun begitu, ia mengakui bahwa melibatkan pasar internasional tidak semudah dulu, mengingat permintaan global saat ini melambat. Oleh karena itu, Indonesia perlu mengeksplorasi pasar-pasar baru di luar kawasan Eropa, seperti Tiongkok dan Amerika Serikat, sebagai tujuan perdagangan internasional.
"Para duta besar perlu diberikan target khusus untuk meningkatkan ekspor dan mengupayakan neraca perdagangan bilateral yang positif," sarannya.
Di luar isu sektoral, Didik juga mengkritisi lonjakan utang pemerintah yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Rasio utang terhadap PDB Indonesia naik dari 26% pada 2010 menjadi 38,55% pada September 2024, dengan total utang mencapai Rp 8.473,90 triliun.
"Ini menunjukkan adanya praktik kebijakan ekonomi dan politik utang yang tidak sehat. Pemerintah cenderung memaksimalkan anggaran tanpa pengendalian yang baik, mengabaikan prinsip checks and balances dalam demokrasi. Selama satu dekade terakhir, politik anggaran mencerminkan kondisi politik yang buruk," kritiknya.
Ia juga menyoroti bahwa kualitas belanja negara semakin menurun. Beban pembayaran bunga utang kini menjadi yang terbesar dibandingkan belanja kementerian lainnya. Persentase pembayaran bunga utang terhadap total belanja pemerintah pusat meningkat drastis dari 11,09% pada 2014 menjadi 20,10% pada 2024.
"Belanja yang tidak produktif semakin mendominasi, sementara belanja produktif semakin berkurang. Pengeluaran untuk belanja pegawai dan barang, misalnya, meningkat dari 34% pada 2014 menjadi 36% pada 2024. Bahkan, hanya untuk bunga utang (tanpa pokoknya), pemerintah harus mengalokasikan Rp 441 triliun setiap tahun dari pajak rakyat," tambahnya.
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow